foto

foto

Selasa, 18 Januari 2022

NUBUWWAH (KENABIAN) DALAM PERSPEKTIF AL QURAN

    Oleh: Siti Nur Fadlilah                                                                                                                    Mahasiswa Jurusan Ilmu Agama IslamFakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Jakarta 

A. Pendahuluan

Kenabian atau nubuwah adalah suatu isu yang jarang diperbincangkan oleh masyarakat umum. Namun teori kenabian dalam agama Islam telah menjadi perdebatan sengit yang belum berhenti hingga saat ini. Sayangnya, perhatian umat Islam terhadap tema ini tidak terlalu besar.  Meski kenabian menjadi tema penting dalam kajian Islam, tetapi itu tidak berarti terjadi pula pada agama lain. Menurut penelitian Ulil Abshar-Abdalla (mantan koordinator Jaringan Islam Liberal), tema kenabian hanya menjadi tema serius pada agama Islam dan Yahudi. Agama-agama timur, seperti Hindu, Buddha, Tao, dan lainya, tidak menaruh perhatian serius pada tema kenabian.

Tentang kehadiran para nabi sendiri mengalami kontroversi di internal ummat Islam. Menurut Muhammad Abduh, kedatangan para Nabi dan Rasul sangat diperlukan bagi keberlangsungan kehidupan manusia. Kedudukan mereka seperti kedudukan akal dalam diri manusia. Tidak heran kalau Tuhan mengkhususkan sebagian mahluk dengan wahyu dan ilham, karena jiwa mereka telah tinggi dan dapat menerima limpahan Tuhan dan rahasia-Nya.[1] Sedangkan menurut Ibnu Ar-Rawandi (penganut Mu’tazilah, namun akhirnya murtad dan menganut ajaran atheis), dalam bukunya yang berjudul Az-Zamarudah, dia mengingkari kenabian pada umumnya dan kenabian Nabi Muhammad pada khususnya, mengkritik terhadap ajaran-ajaran Islam dan ibadahnya, dan menolak mukjizat-mukjizat keseluruhannya. Khusus mengenai kenabian, ia mengatakan bahwa nabi-nabi itu sebenarnya tidak diperlukan, karena Tuhan telah memberikan akal kepada manusia, agar mereka dapat membedakan antara baik dengan buruk, dan petunjuk akal semata-mata sudah mencukupi, sehingga dibawah bimbingan akal sama sekali tidak tidak dibutuhkan risalah. Ia juga mengungkapkan bahwa jika nabi datang dengan menegaskan fungsi akal ini, berarti hanyalah sebuah pemborosan.

 

Selain itu, saat ini semakin banyak orang memposisikan kenabian sebagai sesuatu yang biasa, bukan yang istimewa. Karena menganggap biasa, pada akhirnya penyikapan terhadap nabi dan rasul terakhir, Muhammad SAW, menjadi profan. Misalnya, orang tak segan menjadikan Nabi SAW sebagai bahan olok-olokan dalam kartun, film, dan sebagainya. Dan saat ini semakin marak pula muncul orang-orang yang mengaku sebagai nabi, sebagaimana hal ini pernah terjadi pada zaman Rasulullah dan khalifah Abu Bakar. Fenomena seperti ini menimbulkan tanda tanya, apakah semua orang bisa menjadi nabi tanpa adanya syarat-syarat tertentu. Oleh karena itu, penulis merasa tertarik untuk mengangakat tema nubuwah (kenabian) dengan harapan agar makalah ini dapat menguraikan tentang fenomena kenabian dalam Islam, terutama bila dilihat dalam perspektif Alquran dan makalah ini juga diharapkan dapat memberikan jawaban tentang pertanyaan-pertanyaan yang muncul, terkait dengan isu-isu kenabian, seperti pertanyaan seputar nabi palsu yang sudah sering terjadi di lingkungan masyarakat kita  saat ini.

B. Pembahasan

1. Pengertian Nubuwah (Kenabian)

Secata etimologis, kata nubuwah berasal dari kata “naba-a” yang berarti kabar warta (news), berita (tidings), dan cerita (story).[2] Kata “nubuwah” sendiri merupakan mashdar dari “naba-a”. Dan kata ”nubuwah” disebutkan dalam Al-Quran sebanyak 5 kali di beberapa surat. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, nabi adalah orang yg menjadi pilihan Allah untuk menerima wahyu-Nya dan kenabian adalah sifat (hal) nabi, yang berkenaan dengan nabi.

Ditinjau dari segi sosiologis, kenabian (nubuwah) merupakan jembatan transisi dari masa primitif menuju masa rasioner. Para Nabi dan Rasul diutus ke dunia ini untuk membawa manusia dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang. Zaman kegelapan di sini maksudnya adalah zaman yang penuh dengan keburukan-keburukan moral, penyimpangan akhlak dan keyakinan, sehingga dapat dikatakan bahwa zaman sebelum diutusnya para Nabi dan Rasul sama dengan zaman primitif. Dikatakan primitif karena manusia masih dipengaruhi oleh kepercayaan-kepercayaan kepada yang magis. Pada saat itu, manusia masih menganut kepercayaan animisme dan dinamisme sebelum pada akhirnya sebagian dari mereka beralih kepada kepercayaan monotheisme, dengan menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa setelah para Nabi dan Rasul datang membawa risalah atau ajarannya.

Jika kita melihat kepada sejarah masa lalu, maka akan dapat terbukti bahwa pada masa sebelum kedatangan para Nabi dan Rasul, manusia masih berada pada pola keyakinan yang terpengaruh oleh kekuatan-kekuatan yang ada di alam ini. Sebagai contoh yaitu kepercayaan yang dianut oleh masyarakat pada masa Ibrahim yakni kepercayaan kepada berhala. Selain kepercayaan terhadap berhala, kepercayaan lama yang ada pada masa Ibrahim di wilayah timur tengah kuno, adalah kepercayaan terhadap benda-benda luar angkasa, seperti bintang-bintang, bulan, dan matahari. Kepercayaan kepercayaan yang berkembang pada masa Ibrahim ini, penyembahan berhala, bintang-bintang, bulan, dan matahari, diisyaratkan oleh al-Qur’an dalam surat al-An’am ayat 76-80. [3]

Selain itu, pada masa jahiliyah jazirah Arab (sebagaimana peradaban lainnya) masih dipenuhi dengan paham-paham penyembahan berhala, pohon, hewan, fenomena alam, dan benda-benda angkasa seperti bintang, matahari, dan bulan seperti yang terjadi pada masa Nabi Ibrahim. Namun demikian ada diantara mereka yang masih memegang tradisi Ibrahim. Mereka inilah yang disebut kaum Ahnaf,(literal orang-orang yang lurus). Paham yang mereka anut adalah monotheisme karena rata-rata mereka mengikuti ajaran Ya’kubi (di Ghassan dan Syam), walaupun sebagian mengikuti paham Nestorian yang menuhankan Yesus (di wilayah Hirah).[4]

Secara umum, di Jazirah Arab, paham monoteisme bukanlah hal sangat baru. Maka disini kita melihat bahwa faktor keluarga masih berperan dominan dalam penjagaan ajaran tauhid. Nabi Muhammad dilahirkan dari keluarga Ahnaf yang memegang tradisi Ibrahim. Satu hal yang sangat penting dari tradisi Ibrahim yang dipegang teguh oleh para Ahnaf adalah penyembahan kepada Allah saja.

Seperti yang telah diuraikan di atas bahwa kenabian merupakan jembatan dari masa transisional, dari masa primitif kepada masa rasioner maka akhir dari masa transisional tersebut adalah pada masa Nabi Muhammad SAW sehingga setelah masa tersebut, lambat laun manusia sudah meninggalkan kepercayaan yang primitif berganti dengan masa rasioner, dimana manusia sepenuhnya menggunakan rasio atau akal mereka dalam segala aspek kehidupan Dan setelah berakhirnya masa transisional, maka berakhirlah pula masa kenabian. Oleh karena itu, saat ini kehadiran Nabi sebagai penuntun ataupun penunjuk tidak dibutuhkan lagi karena manusia sudah berada pada masa rasioner, manusia sudah dapat menggunakan akal mereka sepenuhnya dalam segala hal sehingga mereka dapat mengetahui mana yang seharusnya disembah dan mana yang tidak, mana yang baik dan mana yang buruk.

Ditinjau dari segi sosiologis, kenabian (nubuwah) merupakan jembatan transisi dari masa primitif menuju masa rasioner. Para Nabi dan Rasul diutus ke dunia ini untuk membawa manusia dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang. Zaman kegelapan di sini maksudnya adalah zaman yang penuh dengan keburukan-keburukan moral, penyimpangan akhlak dan keyakinan, sehingga dapat dikatakan bahwa zaman sebelum diutusnya para Nabi dan Rasul sama dengan zaman primitif. Dikatakan primitif karena manusia masih dipengaruhi oleh kepercayaan-kepercayaan kepada yang magis. Pada saat itu, manusia masih menganut kepercayaan animisme dan dinamisme sebelum pada akhirnya sebagian dari mereka beralih kepada kepercayaan monotheisme, dengan menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa setelah para Nabi dan Rasul datang membawa risalah atau ajarannya.

Jika kita melihat kepada sejarah masa lalu, maka akan dapat terbukti bahwa pada masa sebelum kedatangan para Nabi dan Rasul, manusia masih berada pada pola keyakinan yang terpengaruh oleh kekuatan-kekuatan yang ada di alam ini. Sebagai contoh yaitu kepercayaan yang dianut oleh masyarakat pada masa Ibrahim yakni kepercayaan kepada berhala. Selain kepercayaan terhadap berhala, kepercayaan lama yang ada pada masa Ibrahim di wilayah timur tengah kuno, adalah kepercayaan terhadap benda-benda luar angkasa, seperti bintang-bintang, bulan, dan matahari. Kepercayaan kepercayaan yang berkembang pada masa Ibrahim ini, penyembahan berhala, bintang-bintang, bulan, dan matahari, diisyaratkan oleh al-Qur’an dalam surat al-An’am ayat 76-80. [5]

Selain itu, pada masa jahiliyah jazirah Arab (sebagaimana peradaban lainnya) masih dipenuhi dengan paham-paham penyembahan berhala, pohon, hewan, fenomena alam, dan benda-benda angkasa seperti bintang, matahari, dan bulan seperti yang terjadi pada masa Nabi Ibrahim. Namun demikian ada diantara mereka yang masih memegang tradisi Ibrahim. Mereka inilah yang disebut kaum Ahnaf,(literal orang-orang yang lurus). Paham yang mereka anut adalah monotheisme karena rata-rata mereka mengikuti ajaran Ya’kubi (di Ghassan dan Syam), walaupun sebagian mengikuti paham Nestorian yang menuhankan Yesus (di wilayah Hirah).[6]

Secara umum, di Jazirah Arab, paham monoteisme bukanlah hal sangat baru. Maka disini kita melihat bahwa faktor keluarga masih berperan dominan dalam penjagaan ajaran tauhid. Nabi Muhammad dilahirkan dari keluarga Ahnaf yang memegang tradisi Ibrahim. Satu hal yang sangat penting dari tradisi Ibrahim yang dipegang teguh oleh para Ahnaf adalah penyembahan kepada Allah saja.

Seperti yang telah diuraikan di atas bahwa kenabian merupakan jembatan dari masa transisional, dari masa primitif kepada masa rasioner maka akhir dari masa transisional tersebut adalah pada masa Nabi Muhammad SAW sehingga setelah masa tersebut, lambat laun manusia sudah meninggalkan kepercayaan yang primitif berganti dengan masa rasioner, dimana manusia sepenuhnya menggunakan rasio atau akal mereka dalam segala aspek kehidupan Dan setelah berakhirnya masa transisional, maka berakhirlah pula masa kenabian. Oleh karena itu, saat ini kehadiran Nabi sebagai penuntun ataupun penunjuk tidak dibutuhkan lagi karena manusia sudah berada pada masa rasioner, manusia sudah dapat menggunakan akal mereka sepenuhnya dalam segala hal sehingga mereka dapat mengetahui mana yang seharusnya disembah dan mana yang tidak, mana yang baik dan mana yang buruk.

Ditinjau dari segi sosiologis, kenabian (nubuwah) merupakan jembatan transisi dari masa primitif menuju masa rasioner. Para Nabi dan Rasul diutus ke dunia ini untuk membawa manusia dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang. Zaman kegelapan di sini maksudnya adalah zaman yang penuh dengan keburukan-keburukan moral, penyimpangan akhlak dan keyakinan, sehingga dapat dikatakan bahwa zaman sebelum diutusnya para Nabi dan Rasul sama dengan zaman primitif. Dikatakan primitif karena manusia masih dipengaruhi oleh kepercayaan-kepercayaan kepada yang magis. Pada saat itu, manusia masih menganut kepercayaan animisme dan dinamisme sebelum pada akhirnya sebagian dari mereka beralih kepada kepercayaan monotheisme, dengan menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa setelah para Nabi dan Rasul datang membawa risalah atau ajarannya.

Jika kita melihat kepada sejarah masa lalu, maka akan dapat terbukti bahwa pada masa sebelum kedatangan para Nabi dan Rasul, manusia masih berada pada pola keyakinan yang terpengaruh oleh kekuatan-kekuatan yang ada di alam ini. Sebagai contoh yaitu kepercayaan yang dianut oleh masyarakat pada masa Ibrahim yakni kepercayaan kepada berhala. Selain kepercayaan terhadap berhala, kepercayaan lama yang ada pada masa Ibrahim di wilayah timur tengah kuno, adalah kepercayaan terhadap benda-benda luar angkasa, seperti bintang-bintang, bulan, dan matahari. Kepercayaan kepercayaan yang berkembang pada masa Ibrahim ini, penyembahan berhala, bintang-bintang, bulan, dan matahari, diisyaratkan oleh al-Qur’an dalam surat al-An’am ayat 76-80. [7]

Selain itu, pada masa jahiliyah jazirah Arab (sebagaimana peradaban lainnya) masih dipenuhi dengan paham-paham penyembahan berhala, pohon, hewan, fenomena alam, dan benda-benda angkasa seperti bintang, matahari, dan bulan seperti yang terjadi pada masa Nabi Ibrahim. Namun demikian ada diantara mereka yang masih memegang tradisi Ibrahim. Mereka inilah yang disebut kaum Ahnaf,(literal orang-orang yang lurus). Paham yang mereka anut adalah monotheisme karena rata-rata mereka mengikuti ajaran Ya’kubi (di Ghassan dan Syam), walaupun sebagian mengikuti paham Nestorian yang menuhankan Yesus (di wilayah Hirah).[8]

Secara umum, di Jazirah Arab, paham monoteisme bukanlah hal sangat baru. Maka disini kita melihat bahwa faktor keluarga masih berperan dominan dalam penjagaan ajaran tauhid. Nabi Muhammad dilahirkan dari keluarga Ahnaf yang memegang tradisi Ibrahim. Satu hal yang sangat penting dari tradisi Ibrahim yang dipegang teguh oleh para Ahnaf adalah penyembahan kepada Allah saja.

Seperti yang telah diuraikan di atas bahwa kenabian merupakan jembatan dari masa transisional, dari masa primitif kepada masa rasioner maka akhir dari masa transisional tersebut adalah pada masa Nabi Muhammad SAW sehingga setelah masa tersebut, lambat laun manusia sudah meninggalkan kepercayaan yang primitif berganti dengan masa rasioner, dimana manusia sepenuhnya menggunakan rasio atau akal mereka dalam segala aspek kehidupan Dan setelah berakhirnya masa transisional, maka berakhirlah pula masa kenabian. Oleh karena itu, saat ini kehadiran Nabi sebagai penuntun ataupun penunjuk tidak dibutuhkan lagi karena manusia sudah berada pada masa rasioner, manusia sudah dapat menggunakan akal mereka sepenuhnya dalam segala hal sehingga mereka dapat mengetahui mana yang seharusnya disembah dan mana yang tidak, mana yang baik dan mana yang buruk.

Sedangkan secara terminologis, ada beberapa pendapat yang mengemukakan mengenai pengertian nubuwah (kenabian) itu sendiri, di antaranya yaitu:

1) Dalam hal kenabian ini, Al-Afghani memberikan suatu perumpamaan, bahwa masyarakat adalah badan, di mana anggota-anggotanya saling berhubungan dan mempunyai tugas dan fungsinya sendiri-sendiri. Kalau badan tidak bisa hidup tanpa roh, maka demikian pula masyarakat. Roh masyarakat adalah kenabian atau hikmah (filsafat). Jadi Nabi dan filosof (al-Hakim) bagi masyarakat sama kedudukannya dengan roh bagi badan. http://almakmun.blogspot.com/2008/07/filsafat-kenabian.html – _ftn11

2) Menurut para ulama Ahlus-Sunnah, kenabian adalah pangkat yang diberikan oleh Allah kepada hamba-hamba yang dikehendaki-Nya tanpa diusahakan dan dengan jalan memberikan wahyu kepadanya.[9] Namun mengenai kenabian sebagai ”sesuatu yang datang tanpa diusahakan”, hal ini mengundang pertentangan dari para ahli filsafat, mereka menyatakan bahwa kenabian itu dapat diusahakan karena kenabian itu merupakan hasil dari keheningan jiwa dan hasil dari keutamaan budi pekerti. Selain itu, para ahli filsafat juga berpendapat bahwa kenabian itu dapat diperoleh oleh manusia dengan usaha bersungguh-sungguh dan karena sebab-sebab tertentu. Jadi menurut mereka, kenabian itu bukan semata-mata anugerah dari Allah tetapi manusia juga berusaha untuk mendapatkannya .

3) Menurut Ibnu Sina, ada dua kubu yang berbeda dalam mengartikan kenabian. Kelompok yang pertama yaitu kaum ortodoks yang diwakili oleh para teolog Sunni. Dalam pandangan kelompok ini, kenabian adalah sebuah anugerah dari Tuhan kepada manusia. Oleh karena itu, gelar kenabian bisa diberikan kepada siapa saja. Kelompok ini juga menyatakan bahwa ajaran kenabian merupakan ajaran yang suci dan mutlak kebenarannya karena berasal dari wahyu Tuhan. Sedangkan kelompok yang kedua yaitu kaum heterodoks yang diwakili oleh para ahli filsafat, mereka menyatakan bahwa kenabian merupakan sebuah keniscayaan dalam kehidupan ini.  Kelompok ini menyatakan bahwa ajaran kenabian adalah ajaran manusia yang biasa saja, punya nilai kebenaran tetapi juga memiliki kekurangan karena sumber kenabian bukan hanya berasal dari atas (Tuhan), tetapi juga berasal dari bawah (manusia atau masyarakat).[10]

Dari pengertian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa nubuwah (kenabian) adalah sebuah gelar atau anugerah yang tidak dapat dicari, yang diberikan oleh Allah kepada hamba-hamba pilihan-Nya yang telah mencapai insan kamil (memiliki akal teoritis dan praktis) dengan cara memberikan wahyu kepadanya. Seperti yang telah diungkapkan dalam Al-Quran:

”Itulah petunjuk Allah, dengan itu Dia memberikan petunjuk kepada siapa saja di antara hamba-hamba-Nya yang Dia kehendaki. Sekiranya mereka mempersekutukan Allah, pasti lenyaplah amalan yang telah mereka kerjakan. Mereka itulah orang-orang yang telah kami berikan kitab, hikmah dan kenabian…” (Al-An’am: 88-89).

Kenabian adalah derajat tertinggi dan kehormatan yang diperoleh manusia dari Tuhan. Kenabian membuktikan superioritas dari aspek batin seseorang atas orang lainnya. Seorang nabi seperti cabang yang menjulur dari Illahi ke dunia manusia. Dia memiliki intelek tertinggi yang menembus ke dalam realitas dari segala benda dan peristiwa. Lebih jauh lagi, ia adalah makhluk yang ideal, sangat mulia dan aktif.[11] Orang-orang biasa tidak dapat memperoleh pengetahuan nabi. Jadi, seperti yang telah diuraikan di atas, bahwa gelar kenabian hanya diberikan kepada orang-orang tertentu saja, bukan kepada sembarang orang.

2. Kenabian Ditinjau dari Segi Sosiologis

Berbicara mengenai kenabian (nubuwah), maka tidak akan terlepas dari orang yang menerima gelar kenabian itu sendiri, yakni nabi. Nabi diangkat dan dikirim untuk suatu umat yang ada di berbagai daerah yang berbeda serta pada masa-masa yang berbeda pula. Dan kenabian merupakan suatu fenomena universal, sebab tidak ada satu bagian bumi pun yang tidak pernah menyaksikan kehadiran seorang Nabi Allah SWT telah berfirman dalam Al-Quran:

”Dan tak ada suatu ummat pun kecuali dulu telah ada padanya seorang pemberi peringatan”. (Al-Fathir : 24).

Seorang Nabi diutus ke dunia ini dengan memiliki tugas dan fungsi tertentu. Menurut Ibnu Sina, seorang nabi memiliki fungsi fungsi politik, dalam arti mampu menuntun manusia untuk mengetahui hukum baik-buruk dan memberikan teladan kepada mereka untuk melaksanakannya. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran:

Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. (Al-Ahzab:21).

Selain itu Nabi hadir di tengah-tengah masyarakat berfungsi  untuk menjadi saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Sebagaimana telah diungkapkan dalam Al-Quran:

“Wahai nabi! Sesungguhnya Kami mengutusmu untuk menjadi saksi, pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan”. (Al-Ahzab: 45).  Di dalam tafsir Al-Azhar dijelaskan bahwa Nabi menjadi saksi bagi ummatnya di dalam hal mereka menggunakan akal pikiran untuk mencari siapa Tuhannya. Dan kelak para Nabi juga menjadi saksi ketika manusia dihadapkan ke mahkamah Tuhan apabila mereka ditanya tentang amalan mereka, baik atau buruk. Sedangkan di dalam tafsir Ibnu Katsir diterangkan bahwa para Nabi ditugaskan untuk memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin tentang pahala dan balasan yang akan mereka terima, serta memberi peringatan kepada orang-orang kafir tentang adzab Allah.

Ditinjau dari segi sosiologis, kenabian (nubuwah) merupakan jembatan transisi dari masa primitif menuju masa rasioner. Para Nabi dan Rasul diutus ke dunia ini untuk membawa manusia dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang. Zaman kegelapan di sini maksudnya adalah zaman yang penuh dengan keburukan-keburukan moral, penyimpangan akhlak dan keyakinan, sehingga dapat dikatakan bahwa zaman sebelum diutusnya para Nabi dan Rasul sama dengan zaman primitif. Dikatakan primitif karena manusia masih dipengaruhi oleh kepercayaan-kepercayaan kepada yang magis. Pada saat itu, manusia masih menganut kepercayaan animisme dan dinamisme sebelum pada akhirnya sebagian dari mereka beralih kepada kepercayaan monotheisme, dengan menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa setelah para Nabi dan Rasul datang membawa risalah atau ajarannya.

Jika kita melihat kepada sejarah masa lalu, maka akan dapat terbukti bahwa pada masa sebelum kedatangan para Nabi dan Rasul, manusia masih berada pada pola keyakinan yang terpengaruh oleh kekuatan-kekuatan yang ada di alam ini. Sebagai contoh yaitu kepercayaan yang dianut oleh masyarakat pada masa Ibrahim yakni kepercayaan kepada berhala. Selain kepercayaan terhadap berhala, kepercayaan lama yang ada pada masa Ibrahim di wilayah timur tengah kuno, adalah kepercayaan terhadap benda-benda luar angkasa, seperti bintang-bintang, bulan, dan matahari. Kepercayaan kepercayaan yang berkembang pada masa Ibrahim ini, penyembahan berhala, bintang-bintang, bulan, dan matahari, diisyaratkan oleh al-Qur’an dalam surat al-An’am ayat 76-80. [12]

Selain itu, pada masa jahiliyah jazirah Arab (sebagaimana peradaban lainnya) masih dipenuhi dengan paham-paham penyembahan berhala, pohon, hewan, fenomena alam, dan benda-benda angkasa seperti bintang, matahari, dan bulan seperti yang terjadi pada masa Nabi Ibrahim. Namun demikian ada diantara mereka yang masih memegang tradisi Ibrahim. Mereka inilah yang disebut kaum Ahnaf,(literal orang-orang yang lurus). Paham yang mereka anut adalah monotheisme karena rata-rata mereka mengikuti ajaran Ya’kubi (di Ghassan dan Syam), walaupun sebagian mengikuti paham Nestorian yang menuhankan Yesus (di wilayah Hirah).[13]

Secara umum, di Jazirah Arab, paham monoteisme bukanlah hal sangat baru. Maka disini kita melihat bahwa faktor keluarga masih berperan dominan dalam penjagaan ajaran tauhid. Nabi Muhammad dilahirkan dari keluarga Ahnaf yang memegang tradisi Ibrahim. Satu hal yang sangat penting dari tradisi Ibrahim yang dipegang teguh oleh para Ahnaf adalah penyembahan kepada Allah saja.

Seperti yang telah diuraikan di atas bahwa kenabian merupakan jembatan dari masa transisional, dari masa primitif kepada masa rasioner maka akhir dari masa transisional tersebut adalah pada masa Nabi Muhammad SAW sehingga setelah masa tersebut, lambat laun manusia sudah meninggalkan kepercayaan yang primitif berganti dengan masa rasioner, dimana manusia sepenuhnya menggunakan rasio atau akal mereka dalam segala aspek kehidupan Dan setelah berakhirnya masa transisional, maka berakhirlah pula masa kenabian. Oleh karena itu, saat ini kehadiran Nabi sebagai penuntun ataupun penunjuk tidak dibutuhkan lagi karena manusia sudah berada pada masa rasioner, manusia sudah dapat menggunakan akal mereka sepenuhnya dalam segala hal sehingga mereka dapat mengetahui mana yang seharusnya disembah dan mana yang tidak, mana yang baik dan mana yang buruk.

3. Misi dan Tujuan Nubuwah (Kenabian)

Sepanjang sejarah kehidupan manusia, nilai-nilai ilahiah seringkali mengalami pergeseran. Akibat terjadinya pergeseran nilai, peradaban manusia terancam oleh berbagai krisis. Itulah sebabnya para nabi diutus secara berulang-ulang. Para nabi yang diutus oleh Allah memiliki misi tertentu dan misi yang dibawa oleh para nabi adalah sama dan satu sama lain saling menguatkan. Pada dasarnya misi yang dibawa oleh para Nabi mempunyai dua dimensi, yaitu dimensi vertikal dan dimensi horizontal.[14] Dimensi yang pertama berkaitan dengan bagaimana berhubungan dengan Tuhan, yakni menyangkut persoalan ketauhidan atau monotheisme, serta mengajak manusia kepada jalan Allah, mengenal-Nya dan mendekatkan diri kepada-Nya, seperti yang telah disebutkan dalam Al-Quran surat Az- Zukhruf:  ”Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya dan kaumnya, ”Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu sembah. Kecuali kamu menyembah Allah yang menciptakanku, karena sungguh Dia akan memberi petunjuk kepadaku. Dan Ibrahim menjadikan kalimat tauhid itu kalimat yang kekal pada keturunannya agar mereka kembali kepada kalimat tauhid itu”. (Az-Zukhruf: 26-28).

Sedangkan dimensi yang kedua berkaitan dengan aturan bagaimana melakukan mu’amalah antar sesama makhluk termasuk manusia (mu’amalah bi husnil khuluq) yaitu pertama: peran nabi adalah sebagai seorang konseling, yakni mengajak manusia untuk berbuat baik dan mencegah kemungkaran. Kedua: Nabi berperan sebagai seorang muadib, misi ini terkait untuk menyempurnakan akhlak manusia. Nabi Muhammad SAW telah bersabda: ”Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”. (HR. Bukhari dan Abu Daud). Ketiga, sebagai seorang revolusioner, yaitu  berjuang membebaskan masyarakat dari segala bentuk penindasan dan diskriminasi yang dilakukan oleh para penguasa. Misi suci ini merupakan perjuangan para Nabi yang terpenting karena hampir semua Nabi berjuang melakukan pembebasan masyarakat dari ketertindasan menuju pencerahan. Nabi Ibrahim melakukan perjuangan revolusioner dalam membebaskan masyarakat dari bentuk paganisme raja Namrud, Nabi Musa melakukan perjuangan Revolusi dalam membebaskan bani Israil dari hegemoni tiran yang diktator Fir’aun, Nabi Isa melakukan gerakan Revolusi spiritual atas hegemoni materialisme masyarakat Romawi dan Nabi Muhammad melakukan gerakan revolusi  moral atas kejahilan masyarakat Quraisy.

Nabi juga memiliki misi untuk mengajarkan realitas, tujuan sesungguhnya dan makna dari kehidupan ini.[15] Karena Tuhan di luar persepsi dan pemahaman kita, nabi harus merupakan orang yang paling patuh, hati-hati dan disiplin saat menjalankan tugasnya. Segala sesuatu di dalam alam ini berusaha untuk menunjukkan nama-nama dan sifat-sifat Allah. Dengan cara yang sama, nabi menunjukkan, membenarkan, dan beriman kepada hubungan misterius yang lembut antara Tuhan dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Ketika kita berada di tempat asing, kita membutuhkan pemandu. Analogi ini berlaku untuk peran nabi, Allah mengutus para nabi untuk memberi informasi kepada kita tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah serta memandu kita menuju jalan yang benar.

4. Syarat – syarat Kenabian

Seperti yang telah diuraikan di atas, bahwa tidak semua orang bisa menjadi nabi ataupun rasul, hanya orang-orang tertentu yang telah dipilih oleh Allahlah yang bisa menjadi nabi ataupun rasul. Untuk menjadi nabi ataupun rasul harus ada syarat-syarat tertentu. Di antara syarat-syarat kenabian yaitu:

1) Laki-laki. Menurut para ulama Ahlussunnah Waljama’ah, Nabi itu wajib laki-laki dan tak boleh perempuan. Hal ini berdasarkan ayat Al-Quran:

”Dan tiada Kami utuskan sebelum kamu, melainkan beberapa orang lelaki, Kami berikan wahyu kepada mereka”. (Al-Anbiya: 7). Di dalam tafsir Ibnu Katsir juga dijelaskan bahwa semua Nabi yang terdahulu (sebagaimana yang kita ketahui) adalah laki-laki. Allah telah menetapkan beberapa prinsip dan hukum di alam semesta dan menciptakan manusia di dalamnya dengan sifat yang baik serta mulia. Lelaki secara fisik lebih kuat dan lebih capable dibandingkan perempuan. Ia berbeda dengan perempuan karena perempuan ada periode menstruasi, pembatasan sebelum dan sesudah melahirkan. Perempuan tidak bisa terus menerus melakukan tugas publik. Seorang nabi harus bisa memimpin manusia dalam segala aspek kehidupan sosial dan religiusnya tanpa jeda. Itulah sebabnya kenabian adalah tidak mungkin untuk perempuan.[16]

2) Mendapat ma’rifat dan pengetahuan dari Tuhan, yakni berupa wahyu. Para nabi memandang sumber pengetahuan dan makrifat mereka dari alam Ilahi dan berkeyakinan tidak dihasilkan oleh akal dan mental manusia. Pengetahuan dan makrifat ini dalam bentuk dimana akal manusia tidak dapat menjangkaunya, sebab memiliki dimensi langsung dari sumber Ilahi. Seperti yang dijelaskan dalam Al-Quran:

“Dan Allah menurunkan kepada kamu kitab dan hikmah dan mengajarkan padamu apa yang tidak kamu ketahui dan adalah fadhlullah atasmu sangat besar” (An-Nisa: 113).

3) Terpelihara dari salah dan Allah juga menjaga seorang Nabi dari perbuatan-perbuatan maksiat. Kalaupun nabi melakukan dosa ataupun kesalahan, maka mereka hanya melakukan dosa-dosa yang kecil saja. Allah tidak mungkin mengutus seorang nabi yang melakukan dosa besar atau kekufuran.[17]

” Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasulpun dan tidak (pula) seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, syaitanpun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (Al-Hajj: 52).

4) Syaikh Isyraq dalam kitab Majmu’eh Mushannifât mengatakan bahwa Kenabian memiliki syarat-syarat, salah satu di antaranya mendapatkan tugas dari alam tinggi untuk merealisasikan risalah, dan ini merupakan syarat khusus bagi para nabi.[18]

5) Menurut Al-Farabi, syarat seorang nabi adalah bahwa seorang Nabi harus mempunyai daya imaginasi yang kuat, dimana obyek indrawi di luar tidak dapat mempengaruhinya. Jadi manakala ia menerima visi kebenaran atau wahyu dari tuhan melalui akal fa’al ia mampu berkomunikasi dengan baik. Al-Farabi kembali menambahkan bahwa kemampuan seorang Nabi berhubungan dengan malaikat Jibril tanpa diawali latihan,  karena Allah telah menganugerahinya dengan kekuatan suci (Qudsiyah). Sementara seorang filsuf dapat berhubungan dengan Tuhan melalui akal Mustafad (perolehan) yang sudah terlatih  dan kuat daya tangkapnya, sehingga dapat menerima hal-hal yang bersifat abstrak murni dari akal. Dengan demikian antara nabi dan filsuf tidak sejajar tingkatannya, karena setiap nabi adalah filsuf sementara tidak semua filsuf itu nabi. Dan menurut Al-Farabi, karena nabi dan filsuf sama-sama dapat berhubungan dengan Akal, maka antara wahyu dan filsafat tidak terdapat pertentangan.[19]

Sedangkan Ibnu Sina mengatakan bahwa syarat kenabian adalah adanya keistimewaan yang tidak dinikmati oleh manusia pada umumnya, termasuk kecerdasan yang didapat di luar pengalaman belajarnya secara ”manusiawi” karena ilmu datang langsung dari Allah. Ibnu Sina juga mengungkapkan bahwa ada tiga kelompok manusia di dunia ini. Pertama, orang yang tidak punya kecakapan teoritis dan praktis. Kedua, orang yang punya kecakapan teoritis dan praktis hanya pada dirinya sendiri dan tidak mampu menyempurnakan orang lain. Ketiga, adalah orang yang punya kecakapan teoritis dan praktis sekaligus, serta mampu mentransformasikannya kepada orang lain. Inilah sesungguhnya yang disebut sebagai Nabi. Jadi, pada intinya Nabi harus merupakan seseorang yang kekuatan kognitifnya mencapai akal aktif. Hakikat akal aktif itu sesungguhnya adalah batasan antara dimensi ketuhanan dan kemanusiaan. Seorang Nabi adalah orang yang mampu berkomunikasi bukan hanya dengan Tuhan saja, tetapi juga dengan manusia.[20]

5. Faktor Pendukung dan Penghambat Kenabian

Yang menjadi faktor pendukung kenabian adalah wahyu. Secara etimologis, kata wahyu berasal dari kata ”wahy”  yang memiliki beberapa arti, di antaranya suara, tulisan, isyarat, bisikan, dan paham. Sedangkan secara terminologis, menurut Syekh Abduh, wahyu merupakan informasi dari Allah kepada Nabi-nabinya mengenai sebuah ajaran hukum atau ajaran lainnya.[21] Kata wahyu banyak terdapat dalam Al-Quran, salah satunya yaitu pada surat An-Najm:

“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”. (An-Najm: 3-4).

Selain wahyu, kenabian seorang nabi juga didukung dengan adanya suatu mu’jizat yang diberikan atas izin Allah SWT. Secara etimologis, mu’jizat diambil dari kata a’jaza yang berarti melemahkan dan memperdaya. Sedangkan mu’jizat secara terminologis adalah hal spektakuler (di luar adat dan kebiasaan) yang berasal dari para nabi dengan izin dari Allah. Para nabi kerap kali menggunakan Mu’jizat untuk menguatkan klaim mereka.

Wahyu-wahyu dan mu’jizat yang diberikan oleh Allah kepada para Nabi merupakan alat atau sarana untuk mendukung kebenaran para Nabi atas ajaran yang disampaikannya. Karena semua pengakuan yang tidak disertai dengan suatu bukti, maka hal tersebut tidak akan diperhatikan oleh manusia.[22] Mukjizat tersebut bukanlah sesuatu yang diperoleh berdasarkan penelitian dan pengalaman, tapi ia merupakan pemberian Allah kepada nabi-Nya dengan maksud tertentu. Mu’jizat juga dapat digunakan untuk membedakan antara para Nabi dan orang-orang yang hanya mengaku sebagai nabi. Salah satu nabi yang memiliki mu’jizat yaitu Nabi Musa, sebagaimana telah diterangkan dalam Al- Quran:

”Maka Musa menjatuhkan tongkat-nya, lalu seketika itu juga tongkat itu menjadi ular yang sebenarnya”. (Al-A’raf: 107).

Dalam perjalanan sejarah dakwah para Nabi, masing-masing dari mereka memiliki dan mengalami hambatan-hambatan dari kaumnya sendiri. Ketika seorang nabi menyampaikan ajaran agama yang dibawanya, tidak jarang sebagian besar dari mereka  menolak. Pebuatan menolak ini dapat disebabkan berbagai faktor seperti kefanatikan terhadap tradisi nenek moyang, kesombongan, status sosial sampai kepada perasaan dengki.

Sejarah membuktikan bahwa ketika para nabi diutus ke dunia ini, ada pihak-pihak yang meragukan dan menentang kenabian para nabi. Mereka tidak mempercayai kitab-kitab yang diturunkan kepada para nabi dan juga mu’jizat yang diberikan kepada mereka. Pada masa Nabi Ibrahim, Raja Namrud dan para pengikutnya menentang ajaran yang dibawa oleh beliau. Kemudian kaum Aad yang menentang kenabian Nabi Hud, Fira’un yang selalu berusaha menjatuhkan Nabi Musa dan masih banyak lagi orang-orang yang menentang dan membantah kenabian para Nabi Allah.

6. Fenomena Nabi Palsu di Indonesia

Perdebatan mengenai teori kenabian di tengah-tengah masyarakat kini kembali marak.  Tak jarang perdebatan wacana ini menarik umat muslim kepada tindak menghakimi atas dasar teologis (pengkafiran) dan tak jarang yang berujung pada tindakan fisik seperti kasus Ahamadiyah di Indonesia beberapa waktu yang lalu dan kontroversi Abdul Salam alias Ahmad Mosaddeq, pemimpin Al-Qiyadah Al-Islamiyah yang dengan berani mengubah Syahadat serta Lia Aminuddin alias Lia Eden dengan Kerajaan Surganya.

Sebenarnya fenomena tentang Nabi palsu bukan baru terjadi pada saat ini saja, tetapi ketika pada masa Nabi Muhammad dan para sahabat juga muncul orang-orang yang mengaku sebagai nabi, seperti Aswad Al-Unsi dan Musailamah Al- Kadzdzab yang berasal dari Bani Hanifah.

Dr. Amirsyah Tambunan, M.A. (Pengurus MUI pusat) mengatakan bahwa persamaan mendasar dari fenomena Nabi palsu zaman dahulu dan zaman sekarang adalah semua nabi palsu tersebut tidak memiliki pengetahuan agama yang komprehensif.[23] Sedangkan perbedaannya adalah keduanya berasal dari latar belakang sosial yang berbeda. Nabi palsu generasi awal berasal dari strata sosial tinggi, yakni pemimpin kabilah dan Nabi palsu modern berasal dari orang lari dari realitas.

Para nabi palsu yang muncul secara mengejutkan di tengah-tengah masyarakat bak pahlawan kesiangan karena pada saat ini, manusia tidak lagi membutuhkan figur seorang Nabi disebabkan manusia sudah dapat menggunakan akal pikiran (rasio) mereka dalam segala aspek kehidupan. Setiap zaman mengalami perkembangan, begitu juga dengan akal pikiran manusia. Saat ini manusia sudah dapat untuk menggunakan daya kritis mereka dalam memahami segala fenomena yang ada di dunia ini, tidak seperti zaman dahulu dimana manusia masih percaya kepada hal-hal yang magis dan takhayul.

Para nabi dibutuhkan pada zaman dahulu, karena pada saat itu manusia masih berada pada zaman primitif (zaman jahiliyah) sehingga dituntut adanya seorang Nabi sebagai pembawa sebuah ajaran yang baru, yang bisa menuntun dan menunjukkan manusia kepada jalan yang benar. Dan seperti yang telah diuraikan di atas bahwa kenabian muncul sebagai sebuah jembatan transisional dari zaman primitif ke zaman rasioner dan masa dimana diturunkannya Nabi Muhammad merupakan masa terakhir dari masa transisi sehingga dengan berakhirnya kenabian Nabi Muhammad, maka berakhir pulalah kenabian dalam Islam. Dan setelah wafatnya Nabi Muhammad, maka tidak ada lagi sebutan bagi seseorang sebagai Nabi ataupun Rasul. Terlebih lagi di dalam Al-Quran telah dijelaskan:

Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu., tetapi Dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu”. (Al-Ahzab: 40).

C. Penutup

1. Kesimpulan

Banyak orang yang menginterpretasikan makna kenabian secara berbeda-beda. Bahkan kenabian menjadi sebuah kontroversi di dalam umat Islam sendiri. Ada yang pro dengan alasan bahwa kenabian sangat dibutuhkan dalam kehidupan manusia sebagai penuntun atau penunjuk kepada jalan yang benar sedangkan pihak yang kontra beralasan bahwa tanpa kehadiran seorang Nabi pun, manusia dapat membedakan hal yang baik dan buruk sesuai dengan kemampuan akal pikiran mereka. Nubuwah (kenabian) merupakan jembatan dari masa transisional, yakni dari masa primitif ke masa rasional. Dan puncak dari masa transisional tersebut adalah pada masa Nabi Muhammad sehingga pada saat ini manusia tidak memerlukan lagi figur seorang Nabi karena manusia sudah berada pada masa rasional dimana pemikiran manusia sudah berkembang secara pesat. Dan jika pada zaman sekarang, ada orang yang mengaku Nabi, hal tersebut sangat menggelikan, mereka yang mengaku nabi di zaman sekarang bagaikan pahlawan kesiangan.

2. Saran

Dengan adanya penginterpretasian yang berbeda dalam memahami nubuwah (kenabian), diharapkan agar ummat Islam tidak menyikapi hal tersebut secara berlebihan. Karena perbedaan adalah hal yang biasa, hal tersebut sangat lumrah terjadi di masyarakat dengan kebebasan berfikir saat ini. Selain itu, dengan fenomena kenabian palsu yang muncul di masyarakat, penulis mengharapkan agar ummat Islam dapat lebih mempelajari Islam secara komprehensif, baik dari segi historis maupun segi lainnya. Hal ini agar ummat Islam tidak mudah terpengaruh dan terhasut oleh fenomena kenabian palsu. Selain itu, dengan adanya nabi palsu diharapkan agar ummat Islam tidak langsung menjudge orang tersebut kafir, apalagi sampai melibatkan kekerasan fisik dan merusak sarana yang ada. Yang harus kita lakukan adalah menundukkan ego dan emosi kita dan mengajak orang yang tersesat (mengaku Nabi) untuk berdialog dan mengajaknya kembali kepada ajaran Islam yang benar, yang sesuai dengan pemahaman Al-Quran dan Hadits.      

 

Naskah dikopy dari  Makalah Mahasiswa  ... semoga bermanfaat.

D. Daftar Pustaka

§ Rahardjo, M. Dawam, Ensiklopedia Al-Quran, (Jakarta: Paramadina, 1997).

§ Ash-Shiddieqy, Hasby, Al-Islam Jilid I,  (Yogyakarta: Bulan Bintang, 1952).

§ El-Bararah, Umdah, Meninjau Kembali Teori Kenabian, www.islamlib.com,

§ Gulen, M. Fetullah, Memadukan Akal dan Kalbu dalam Beriman, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002).

§ Admin, Teologi Profetik dan Ideologi Revolusioner, www.iain.org, (21 Oktober 2009).

§ Mu’nim Al-Hafni, Abdul, Ensiklopedia: Golongan, Kelompok, Aliran, Mazhab, Partai, dan Gerakan Islam, (Jakarta: Grafindo, 2002).

§ Amir, Ja’far, Terjemahan Jawahir Kalamiyah, (Pekalongan: Raja Murah, 1994).

§ Unknown, Nabi Palsu, www.Indonesia. Islam. com

§ Handono, Irene, Islam Dihujat, (Kudus: Bima Rodheta, 2003).

§ Nasution, Hasyimsah, Filsafat Islam,  (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002).

§ Madhkour, Ibrahim, Filsafat Islam:  Metode dan Penerapan, terj. Yudian Wahyudi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993).


[1] Ibrahim Madhkour, Filsafat Islam:  Metode dan Penerapan, terj. Yudian Wahyudi, (Jakarta: PT. Raja  Grafindo Persada, 1993), hal. 164.

[2] M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedia Al-Quran, (Jakarta: Paramadina, 1997), hal. 302.

[3] Irene Handono, Islam Dihujat, (Kudus: Bima Rodheta, 2003), hal. 38.

[4] Ibid, hal. 43.

[5] Irene Handono, Islam Dihujat, (Kudus: Bima Rodheta, 2003), hal. 38.

[6] Ibid, hal. 43.

[7] Irene Handono, Islam Dihujat, (Kudus: Bima Rodheta, 2003), hal. 38.

[8] Ibid, hal. 43.

[9] Hasbi Ash-Shiddieqy, Al-Islam Jilid I,  (Yogyakarta: Bulan Bintang, 1952),  hal. 201.

[10] Umdah El-Bararah, Meninjau Kembali Teori Kenabian, www.islamlib.com, diambil tanggal 12 Desember pukul 20.00.

[11] M. Fetullah Gulen, Memadukan Akal dan Kalbu dalam Beriman, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 97.

[12] Irene Handono, Islam Dihujat, (Kudus: Bima Rodheta, 2003), hal. 38.

[13] Ibid, hal. 43.

[14] Ibid, hal. 105.

[15] Gulen,Op.cit,  hal. 98.

[16] Ibid, hal. 106.

[17] Abdul Mu’nim Al-Hafni, Ensiklopedia: Golongan, Kelompok, Aliran, Mazhab, Partai, dan Gerakan  Islam, (Jakarta: Grafindo, 2006), hal. 836.

[18] Syihabuddin Suhrawardi, Majmu’eh Mushannifât, Jilid. 3,  hal. 75.

[19] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam,  (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), hal. 44.

[20] Umdah El-Bararah, Loc Cit.

[21] Rashid Ridha, Muhammadan Wahi, Cairo, 1935, hal. 38.

[22] Ja’far Amir, Terjemahan Jawahir Kalamiyah, (Pekalongan: Raja Murah, 1994), hal.. 35.

[23] Unknown, Nabi Palsu, www.Indonesia. Islam. com

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar