Oleh: Siti Nur Fadlilah Mahasiswa Jurusan Ilmu Agama IslamFakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Jakarta
A.
Pendahuluan
Kenabian atau nubuwah adalah suatu
isu yang jarang diperbincangkan oleh masyarakat umum. Namun teori kenabian
dalam agama Islam telah menjadi perdebatan sengit yang belum berhenti hingga
saat ini. Sayangnya, perhatian umat Islam terhadap tema ini tidak terlalu
besar. Meski kenabian menjadi tema penting dalam kajian Islam, tetapi itu
tidak berarti terjadi pula pada agama lain. Menurut penelitian Ulil
Abshar-Abdalla (mantan koordinator Jaringan Islam Liberal), tema kenabian hanya
menjadi tema serius pada agama Islam dan Yahudi. Agama-agama timur, seperti
Hindu, Buddha, Tao, dan lainya, tidak menaruh perhatian serius pada tema
kenabian.
Tentang kehadiran para nabi sendiri
mengalami kontroversi di internal ummat Islam. Menurut Muhammad Abduh,
kedatangan para Nabi dan Rasul sangat diperlukan bagi keberlangsungan kehidupan
manusia. Kedudukan mereka seperti kedudukan akal dalam diri manusia. Tidak heran
kalau Tuhan mengkhususkan sebagian mahluk dengan wahyu dan ilham, karena jiwa
mereka telah tinggi dan dapat menerima limpahan Tuhan dan rahasia-Nya.[1]
Sedangkan menurut Ibnu Ar-Rawandi (penganut Mu’tazilah, namun akhirnya murtad
dan menganut ajaran atheis), dalam bukunya yang berjudul Az-Zamarudah,
dia mengingkari kenabian pada umumnya dan kenabian Nabi Muhammad pada
khususnya, mengkritik terhadap ajaran-ajaran Islam dan ibadahnya, dan menolak
mukjizat-mukjizat keseluruhannya. Khusus mengenai kenabian, ia mengatakan bahwa
nabi-nabi itu sebenarnya tidak diperlukan, karena Tuhan telah memberikan akal
kepada manusia, agar mereka dapat membedakan antara baik dengan buruk, dan
petunjuk akal semata-mata sudah mencukupi, sehingga dibawah bimbingan akal sama
sekali tidak tidak dibutuhkan risalah. Ia juga mengungkapkan bahwa jika nabi
datang dengan menegaskan fungsi akal ini, berarti hanyalah sebuah pemborosan.
Selain itu, saat ini semakin banyak
orang memposisikan kenabian sebagai sesuatu yang biasa, bukan yang istimewa.
Karena menganggap biasa, pada akhirnya penyikapan terhadap nabi dan rasul
terakhir, Muhammad SAW, menjadi profan. Misalnya, orang tak segan menjadikan
Nabi SAW sebagai bahan olok-olokan dalam kartun, film, dan sebagainya. Dan saat
ini semakin marak pula muncul orang-orang yang mengaku sebagai nabi,
sebagaimana hal ini pernah terjadi pada zaman Rasulullah dan khalifah Abu
Bakar. Fenomena seperti ini menimbulkan tanda tanya, apakah semua orang bisa
menjadi nabi tanpa adanya syarat-syarat tertentu. Oleh karena itu, penulis
merasa tertarik untuk mengangakat tema nubuwah (kenabian) dengan harapan agar
makalah ini dapat menguraikan tentang fenomena kenabian dalam Islam, terutama
bila dilihat dalam perspektif Alquran dan makalah ini juga diharapkan dapat
memberikan jawaban tentang pertanyaan-pertanyaan yang muncul, terkait dengan
isu-isu kenabian, seperti pertanyaan seputar nabi palsu yang sudah sering
terjadi di lingkungan masyarakat kita saat ini.
B. Pembahasan
1. Pengertian Nubuwah (Kenabian)
Secata etimologis, kata nubuwah
berasal dari kata “naba-a” yang berarti kabar warta (news), berita (tidings),
dan cerita (story).[2]
Kata “nubuwah” sendiri merupakan mashdar dari “naba-a”. Dan kata ”nubuwah”
disebutkan dalam Al-Quran sebanyak 5 kali di beberapa surat. Sedangkan menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, nabi adalah orang yg menjadi pilihan Allah untuk
menerima wahyu-Nya dan kenabian adalah sifat (hal) nabi, yang berkenaan dengan
nabi.
Ditinjau dari segi sosiologis,
kenabian (nubuwah) merupakan jembatan transisi dari masa primitif menuju masa
rasioner. Para Nabi dan Rasul diutus ke dunia ini untuk membawa manusia dari
zaman kegelapan menuju zaman yang terang. Zaman kegelapan di sini maksudnya
adalah zaman yang penuh dengan keburukan-keburukan moral, penyimpangan akhlak
dan keyakinan, sehingga dapat dikatakan bahwa zaman sebelum diutusnya para Nabi
dan Rasul sama dengan zaman primitif. Dikatakan primitif karena manusia masih
dipengaruhi oleh kepercayaan-kepercayaan kepada yang magis. Pada saat itu, manusia
masih menganut kepercayaan animisme dan dinamisme sebelum pada akhirnya
sebagian dari mereka beralih kepada kepercayaan monotheisme, dengan menyembah
kepada Tuhan Yang Maha Esa setelah para Nabi dan Rasul datang membawa risalah
atau ajarannya.
Jika kita melihat kepada sejarah
masa lalu, maka akan dapat terbukti bahwa pada masa sebelum kedatangan para
Nabi dan Rasul, manusia masih berada pada pola keyakinan yang terpengaruh oleh
kekuatan-kekuatan yang ada di alam ini. Sebagai contoh yaitu kepercayaan yang dianut
oleh masyarakat pada masa Ibrahim yakni kepercayaan kepada berhala. Selain
kepercayaan terhadap berhala, kepercayaan lama yang ada pada masa Ibrahim di
wilayah timur tengah kuno, adalah kepercayaan terhadap benda-benda luar
angkasa, seperti bintang-bintang, bulan, dan matahari. Kepercayaan kepercayaan
yang berkembang pada masa Ibrahim ini, penyembahan berhala, bintang-bintang,
bulan, dan matahari, diisyaratkan oleh al-Qur’an dalam surat al-An’am ayat
76-80. [3]
Selain itu, pada masa jahiliyah
jazirah Arab (sebagaimana peradaban lainnya) masih dipenuhi dengan paham-paham
penyembahan berhala, pohon, hewan, fenomena alam, dan benda-benda angkasa
seperti bintang, matahari, dan bulan seperti yang terjadi pada masa Nabi
Ibrahim. Namun demikian ada diantara mereka yang masih memegang tradisi
Ibrahim. Mereka inilah yang disebut kaum Ahnaf,(literal
orang-orang yang lurus). Paham yang mereka anut adalah monotheisme karena
rata-rata mereka mengikuti ajaran Ya’kubi (di Ghassan dan Syam), walaupun
sebagian mengikuti paham Nestorian yang menuhankan Yesus (di wilayah Hirah).[4]
Secara umum, di Jazirah Arab, paham
monoteisme bukanlah hal sangat baru. Maka disini kita melihat bahwa faktor
keluarga masih berperan dominan dalam penjagaan ajaran tauhid. Nabi Muhammad
dilahirkan dari keluarga Ahnaf yang
memegang tradisi Ibrahim. Satu hal yang sangat penting dari tradisi Ibrahim
yang dipegang teguh oleh para Ahnaf adalah
penyembahan kepada Allah saja.
Seperti yang telah diuraikan di atas
bahwa kenabian merupakan jembatan dari masa transisional, dari masa primitif
kepada masa rasioner maka akhir dari masa transisional tersebut adalah pada
masa Nabi Muhammad SAW sehingga setelah masa tersebut, lambat laun manusia
sudah meninggalkan kepercayaan yang primitif berganti dengan masa rasioner,
dimana manusia sepenuhnya menggunakan rasio atau akal mereka dalam segala aspek
kehidupan Dan setelah berakhirnya masa transisional, maka berakhirlah pula masa
kenabian. Oleh karena itu, saat ini kehadiran Nabi sebagai penuntun ataupun
penunjuk tidak dibutuhkan lagi karena manusia sudah berada pada masa rasioner,
manusia sudah dapat menggunakan akal mereka sepenuhnya dalam segala hal
sehingga mereka dapat mengetahui mana yang seharusnya disembah dan mana yang
tidak, mana yang baik dan mana yang buruk.
Ditinjau dari segi sosiologis,
kenabian (nubuwah) merupakan jembatan transisi dari masa primitif menuju masa
rasioner. Para Nabi dan Rasul diutus ke dunia ini untuk membawa manusia dari
zaman kegelapan menuju zaman yang terang. Zaman kegelapan di sini maksudnya
adalah zaman yang penuh dengan keburukan-keburukan moral, penyimpangan akhlak
dan keyakinan, sehingga dapat dikatakan bahwa zaman sebelum diutusnya para Nabi
dan Rasul sama dengan zaman primitif. Dikatakan primitif karena manusia masih
dipengaruhi oleh kepercayaan-kepercayaan kepada yang magis. Pada saat itu,
manusia masih menganut kepercayaan animisme dan dinamisme sebelum pada akhirnya
sebagian dari mereka beralih kepada kepercayaan monotheisme, dengan menyembah
kepada Tuhan Yang Maha Esa setelah para Nabi dan Rasul datang membawa risalah
atau ajarannya.
Jika kita melihat kepada sejarah
masa lalu, maka akan dapat terbukti bahwa pada masa sebelum kedatangan para
Nabi dan Rasul, manusia masih berada pada pola keyakinan yang terpengaruh oleh
kekuatan-kekuatan yang ada di alam ini. Sebagai contoh yaitu kepercayaan yang
dianut oleh masyarakat pada masa Ibrahim yakni kepercayaan kepada berhala.
Selain kepercayaan terhadap berhala, kepercayaan lama yang ada pada masa
Ibrahim di wilayah timur tengah kuno, adalah kepercayaan terhadap benda-benda
luar angkasa, seperti bintang-bintang, bulan, dan matahari. Kepercayaan
kepercayaan yang berkembang pada masa Ibrahim ini, penyembahan berhala,
bintang-bintang, bulan, dan matahari, diisyaratkan oleh al-Qur’an dalam surat
al-An’am ayat 76-80. [5]
Selain itu, pada masa jahiliyah
jazirah Arab (sebagaimana peradaban lainnya) masih dipenuhi dengan paham-paham
penyembahan berhala, pohon, hewan, fenomena alam, dan benda-benda angkasa
seperti bintang, matahari, dan bulan seperti yang terjadi pada masa Nabi
Ibrahim. Namun demikian ada diantara mereka yang masih memegang tradisi
Ibrahim. Mereka inilah yang disebut kaum Ahnaf,(literal
orang-orang yang lurus). Paham yang mereka anut adalah monotheisme karena
rata-rata mereka mengikuti ajaran Ya’kubi (di Ghassan dan Syam), walaupun
sebagian mengikuti paham Nestorian yang menuhankan Yesus (di wilayah Hirah).[6]
Secara umum, di Jazirah Arab, paham
monoteisme bukanlah hal sangat baru. Maka disini kita melihat bahwa faktor
keluarga masih berperan dominan dalam penjagaan ajaran tauhid. Nabi Muhammad dilahirkan
dari keluarga Ahnaf yang
memegang tradisi Ibrahim. Satu hal yang sangat penting dari tradisi Ibrahim
yang dipegang teguh oleh para Ahnaf adalah
penyembahan kepada Allah saja.
Seperti yang telah diuraikan di atas
bahwa kenabian merupakan jembatan dari masa transisional, dari masa primitif
kepada masa rasioner maka akhir dari masa transisional tersebut adalah pada
masa Nabi Muhammad SAW sehingga setelah masa tersebut, lambat laun manusia
sudah meninggalkan kepercayaan yang primitif berganti dengan masa rasioner,
dimana manusia sepenuhnya menggunakan rasio atau akal mereka dalam segala aspek
kehidupan Dan setelah berakhirnya masa transisional, maka berakhirlah pula masa
kenabian. Oleh karena itu, saat ini kehadiran Nabi sebagai penuntun ataupun
penunjuk tidak dibutuhkan lagi karena manusia sudah berada pada masa rasioner,
manusia sudah dapat menggunakan akal mereka sepenuhnya dalam segala hal
sehingga mereka dapat mengetahui mana yang seharusnya disembah dan mana yang
tidak, mana yang baik dan mana yang buruk.
Ditinjau dari segi sosiologis,
kenabian (nubuwah) merupakan jembatan transisi dari masa primitif menuju masa
rasioner. Para Nabi dan Rasul diutus ke dunia ini untuk membawa manusia dari
zaman kegelapan menuju zaman yang terang. Zaman kegelapan di sini maksudnya
adalah zaman yang penuh dengan keburukan-keburukan moral, penyimpangan akhlak
dan keyakinan, sehingga dapat dikatakan bahwa zaman sebelum diutusnya para Nabi
dan Rasul sama dengan zaman primitif. Dikatakan primitif karena manusia masih
dipengaruhi oleh kepercayaan-kepercayaan kepada yang magis. Pada saat itu,
manusia masih menganut kepercayaan animisme dan dinamisme sebelum pada akhirnya
sebagian dari mereka beralih kepada kepercayaan monotheisme, dengan menyembah
kepada Tuhan Yang Maha Esa setelah para Nabi dan Rasul datang membawa risalah
atau ajarannya.
Jika kita melihat kepada sejarah
masa lalu, maka akan dapat terbukti bahwa pada masa sebelum kedatangan para
Nabi dan Rasul, manusia masih berada pada pola keyakinan yang terpengaruh oleh
kekuatan-kekuatan yang ada di alam ini. Sebagai contoh yaitu kepercayaan yang
dianut oleh masyarakat pada masa Ibrahim yakni kepercayaan kepada berhala.
Selain kepercayaan terhadap berhala, kepercayaan lama yang ada pada masa
Ibrahim di wilayah timur tengah kuno, adalah kepercayaan terhadap benda-benda
luar angkasa, seperti bintang-bintang, bulan, dan matahari. Kepercayaan
kepercayaan yang berkembang pada masa Ibrahim ini, penyembahan berhala,
bintang-bintang, bulan, dan matahari, diisyaratkan oleh al-Qur’an dalam surat
al-An’am ayat 76-80. [7]
Selain itu, pada masa jahiliyah
jazirah Arab (sebagaimana peradaban lainnya) masih dipenuhi dengan paham-paham
penyembahan berhala, pohon, hewan, fenomena alam, dan benda-benda angkasa
seperti bintang, matahari, dan bulan seperti yang terjadi pada masa Nabi
Ibrahim. Namun demikian ada diantara mereka yang masih memegang tradisi
Ibrahim. Mereka inilah yang disebut kaum Ahnaf,(literal
orang-orang yang lurus). Paham yang mereka anut adalah monotheisme karena
rata-rata mereka mengikuti ajaran Ya’kubi (di Ghassan dan Syam), walaupun
sebagian mengikuti paham Nestorian yang menuhankan Yesus (di wilayah Hirah).[8]
Secara umum, di Jazirah Arab, paham
monoteisme bukanlah hal sangat baru. Maka disini kita melihat bahwa faktor
keluarga masih berperan dominan dalam penjagaan ajaran tauhid. Nabi Muhammad
dilahirkan dari keluarga Ahnaf yang
memegang tradisi Ibrahim. Satu hal yang sangat penting dari tradisi Ibrahim
yang dipegang teguh oleh para Ahnaf adalah
penyembahan kepada Allah saja.
Seperti yang telah diuraikan di atas
bahwa kenabian merupakan jembatan dari masa transisional, dari masa primitif
kepada masa rasioner maka akhir dari masa transisional tersebut adalah pada
masa Nabi Muhammad SAW sehingga setelah masa tersebut, lambat laun manusia
sudah meninggalkan kepercayaan yang primitif berganti dengan masa rasioner,
dimana manusia sepenuhnya menggunakan rasio atau akal mereka dalam segala aspek
kehidupan Dan setelah berakhirnya masa transisional, maka berakhirlah pula masa
kenabian. Oleh karena itu, saat ini kehadiran Nabi sebagai penuntun ataupun
penunjuk tidak dibutuhkan lagi karena manusia sudah berada pada masa rasioner,
manusia sudah dapat menggunakan akal mereka sepenuhnya dalam segala hal
sehingga mereka dapat mengetahui mana yang seharusnya disembah dan mana yang
tidak, mana yang baik dan mana yang buruk.
Sedangkan secara terminologis, ada
beberapa pendapat yang mengemukakan mengenai pengertian nubuwah (kenabian) itu
sendiri, di antaranya yaitu:
1) Dalam hal kenabian ini, Al-Afghani memberikan
suatu perumpamaan, bahwa masyarakat adalah badan, di mana anggota-anggotanya
saling berhubungan dan mempunyai tugas dan fungsinya sendiri-sendiri. Kalau badan tidak bisa hidup tanpa roh, maka
demikian pula masyarakat. Roh masyarakat adalah kenabian atau hikmah (filsafat). Jadi Nabi dan filosof (al-Hakim) bagi masyarakat sama kedudukannya dengan roh bagi
badan. http://almakmun.blogspot.com/2008/07/filsafat-kenabian.html – _ftn11
2) Menurut para ulama Ahlus-Sunnah,
kenabian adalah pangkat yang diberikan oleh Allah kepada hamba-hamba yang
dikehendaki-Nya tanpa diusahakan dan dengan jalan memberikan wahyu kepadanya.[9] Namun mengenai kenabian sebagai
”sesuatu yang datang tanpa diusahakan”, hal ini mengundang pertentangan dari
para ahli filsafat, mereka menyatakan bahwa kenabian itu dapat diusahakan
karena kenabian itu merupakan hasil dari keheningan jiwa dan hasil dari
keutamaan budi pekerti. Selain itu, para ahli filsafat juga berpendapat bahwa
kenabian itu dapat diperoleh oleh manusia dengan usaha bersungguh-sungguh dan
karena sebab-sebab tertentu. Jadi menurut mereka, kenabian itu bukan
semata-mata anugerah dari Allah tetapi manusia juga berusaha untuk
mendapatkannya .
3) Menurut Ibnu Sina, ada dua kubu yang
berbeda dalam mengartikan kenabian. Kelompok yang pertama yaitu kaum ortodoks
yang diwakili oleh para teolog Sunni. Dalam pandangan kelompok ini, kenabian
adalah sebuah anugerah dari Tuhan kepada manusia. Oleh karena itu, gelar
kenabian bisa diberikan kepada siapa saja. Kelompok ini juga menyatakan bahwa
ajaran kenabian merupakan ajaran yang suci dan mutlak kebenarannya karena
berasal dari wahyu Tuhan. Sedangkan kelompok yang kedua yaitu kaum heterodoks
yang diwakili oleh para ahli filsafat, mereka menyatakan bahwa kenabian
merupakan sebuah keniscayaan dalam kehidupan ini. Kelompok ini menyatakan
bahwa ajaran kenabian adalah ajaran manusia yang biasa saja, punya nilai
kebenaran tetapi juga memiliki kekurangan karena sumber kenabian bukan hanya
berasal dari atas (Tuhan), tetapi juga berasal dari bawah (manusia atau
masyarakat).[10]
Dari
pengertian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa nubuwah (kenabian) adalah
sebuah gelar atau anugerah yang tidak dapat dicari, yang diberikan oleh Allah
kepada hamba-hamba pilihan-Nya yang telah mencapai insan kamil (memiliki akal
teoritis dan praktis) dengan cara memberikan wahyu kepadanya. Seperti yang
telah diungkapkan dalam Al-Quran:
”Itulah petunjuk Allah, dengan itu Dia memberikan petunjuk kepada siapa
saja di antara hamba-hamba-Nya yang Dia kehendaki. Sekiranya mereka mempersekutukan
Allah, pasti lenyaplah amalan yang telah mereka kerjakan. Mereka itulah
orang-orang yang telah kami berikan kitab, hikmah dan kenabian…” (Al-An’am:
88-89).
Kenabian
adalah derajat tertinggi dan kehormatan yang diperoleh manusia dari Tuhan. Kenabian
membuktikan superioritas dari aspek batin seseorang atas orang lainnya. Seorang
nabi seperti cabang yang menjulur dari Illahi ke dunia manusia. Dia memiliki
intelek tertinggi yang menembus ke dalam realitas dari segala benda dan
peristiwa. Lebih jauh lagi, ia adalah makhluk yang ideal, sangat mulia dan
aktif.[11] Orang-orang biasa tidak dapat
memperoleh pengetahuan nabi. Jadi, seperti yang telah diuraikan di atas, bahwa
gelar kenabian hanya diberikan kepada orang-orang tertentu saja, bukan kepada
sembarang orang.
2. Kenabian Ditinjau dari Segi
Sosiologis
Berbicara mengenai kenabian
(nubuwah), maka tidak akan terlepas dari orang yang menerima gelar kenabian itu
sendiri, yakni nabi. Nabi diangkat dan dikirim untuk suatu umat yang ada di
berbagai daerah yang berbeda serta pada masa-masa yang berbeda pula. Dan
kenabian merupakan suatu fenomena universal, sebab tidak ada satu bagian bumi
pun yang tidak pernah menyaksikan kehadiran seorang Nabi Allah SWT telah
berfirman dalam Al-Quran:
”Dan tak ada suatu ummat pun kecuali
dulu telah ada padanya seorang pemberi peringatan”. (Al-Fathir : 24).
Seorang Nabi diutus ke dunia ini
dengan memiliki tugas dan fungsi tertentu. Menurut Ibnu Sina, seorang nabi
memiliki fungsi fungsi politik, dalam arti mampu menuntun manusia untuk
mengetahui hukum baik-buruk dan memberikan teladan kepada mereka untuk
melaksanakannya. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran:
Artinya: “Sesungguhnya telah ada
pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang
yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah”. (Al-Ahzab:21).
Selain itu Nabi hadir di
tengah-tengah masyarakat berfungsi untuk menjadi saksi, pembawa berita
gembira dan pemberi peringatan. Sebagaimana telah diungkapkan dalam Al-Quran:
“Wahai nabi! Sesungguhnya Kami
mengutusmu untuk menjadi saksi, pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan”. (Al-Ahzab: 45). Di dalam
tafsir Al-Azhar dijelaskan bahwa Nabi menjadi saksi bagi ummatnya di dalam hal
mereka menggunakan akal pikiran untuk mencari siapa Tuhannya. Dan kelak para
Nabi juga menjadi saksi ketika manusia dihadapkan ke mahkamah Tuhan apabila
mereka ditanya tentang amalan mereka, baik atau buruk. Sedangkan di dalam
tafsir Ibnu Katsir diterangkan bahwa para Nabi ditugaskan untuk memberi kabar
gembira kepada orang-orang mukmin tentang pahala dan balasan yang akan mereka
terima, serta memberi peringatan kepada orang-orang kafir tentang adzab Allah.
Ditinjau dari segi sosiologis,
kenabian (nubuwah) merupakan jembatan transisi dari masa primitif menuju masa
rasioner. Para Nabi dan Rasul diutus ke dunia ini untuk membawa manusia dari
zaman kegelapan menuju zaman yang terang. Zaman kegelapan di sini maksudnya adalah
zaman yang penuh dengan keburukan-keburukan moral, penyimpangan akhlak dan
keyakinan, sehingga dapat dikatakan bahwa zaman sebelum diutusnya para Nabi dan
Rasul sama dengan zaman primitif. Dikatakan primitif karena manusia masih
dipengaruhi oleh kepercayaan-kepercayaan kepada yang magis. Pada saat itu,
manusia masih menganut kepercayaan animisme dan dinamisme sebelum pada akhirnya
sebagian dari mereka beralih kepada kepercayaan monotheisme, dengan menyembah
kepada Tuhan Yang Maha Esa setelah para Nabi dan Rasul datang membawa risalah
atau ajarannya.
Jika kita melihat kepada sejarah
masa lalu, maka akan dapat terbukti bahwa pada masa sebelum kedatangan para
Nabi dan Rasul, manusia masih berada pada pola keyakinan yang terpengaruh oleh
kekuatan-kekuatan yang ada di alam ini. Sebagai contoh yaitu kepercayaan yang
dianut oleh masyarakat pada masa Ibrahim yakni kepercayaan kepada berhala.
Selain kepercayaan terhadap berhala, kepercayaan lama yang ada pada masa
Ibrahim di wilayah timur tengah kuno, adalah kepercayaan terhadap benda-benda
luar angkasa, seperti bintang-bintang, bulan, dan matahari. Kepercayaan
kepercayaan yang berkembang pada masa Ibrahim ini, penyembahan berhala,
bintang-bintang, bulan, dan matahari, diisyaratkan oleh al-Qur’an dalam surat
al-An’am ayat 76-80. [12]
Selain itu, pada masa jahiliyah
jazirah Arab (sebagaimana peradaban lainnya) masih dipenuhi dengan paham-paham
penyembahan berhala, pohon, hewan, fenomena alam, dan benda-benda angkasa
seperti bintang, matahari, dan bulan seperti yang terjadi pada masa Nabi
Ibrahim. Namun demikian ada diantara mereka yang masih memegang tradisi
Ibrahim. Mereka inilah yang disebut kaum Ahnaf,(literal
orang-orang yang lurus). Paham yang mereka anut adalah monotheisme karena
rata-rata mereka mengikuti ajaran Ya’kubi (di Ghassan dan Syam), walaupun
sebagian mengikuti paham Nestorian yang menuhankan Yesus (di wilayah Hirah).[13]
Secara umum, di Jazirah Arab, paham
monoteisme bukanlah hal sangat baru. Maka disini kita melihat bahwa faktor
keluarga masih berperan dominan dalam penjagaan ajaran tauhid. Nabi Muhammad
dilahirkan dari keluarga Ahnaf yang
memegang tradisi Ibrahim. Satu hal yang sangat penting dari tradisi Ibrahim
yang dipegang teguh oleh para Ahnaf adalah
penyembahan kepada Allah saja.
Seperti yang
telah diuraikan di atas bahwa kenabian merupakan jembatan dari masa
transisional, dari masa primitif kepada masa rasioner maka akhir dari masa
transisional tersebut adalah pada masa Nabi Muhammad SAW sehingga setelah masa
tersebut, lambat laun manusia sudah meninggalkan kepercayaan yang primitif
berganti dengan masa rasioner, dimana manusia sepenuhnya menggunakan rasio atau
akal mereka dalam segala aspek kehidupan Dan setelah berakhirnya masa
transisional, maka berakhirlah pula masa kenabian. Oleh karena itu, saat ini
kehadiran Nabi sebagai penuntun ataupun penunjuk tidak dibutuhkan lagi karena
manusia sudah berada pada masa rasioner, manusia sudah dapat menggunakan akal
mereka sepenuhnya dalam segala hal sehingga mereka dapat mengetahui mana yang
seharusnya disembah dan mana yang tidak, mana yang baik dan mana yang buruk.
3. Misi dan Tujuan Nubuwah
(Kenabian)
Sepanjang sejarah kehidupan manusia,
nilai-nilai ilahiah seringkali mengalami pergeseran. Akibat terjadinya
pergeseran nilai, peradaban manusia terancam oleh berbagai krisis. Itulah sebabnya
para nabi diutus secara berulang-ulang. Para nabi yang diutus oleh Allah
memiliki misi tertentu dan misi yang dibawa oleh para nabi adalah sama dan satu
sama lain saling menguatkan. Pada dasarnya misi yang dibawa oleh para Nabi
mempunyai dua dimensi, yaitu dimensi vertikal dan dimensi horizontal.[14] Dimensi yang pertama berkaitan dengan
bagaimana berhubungan dengan Tuhan, yakni menyangkut persoalan ketauhidan atau
monotheisme, serta mengajak manusia kepada jalan Allah, mengenal-Nya dan
mendekatkan diri kepada-Nya, seperti yang telah disebutkan dalam Al-Quran surat
Az- Zukhruf: ”Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya dan
kaumnya, ”Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu sembah. Kecuali
kamu menyembah Allah yang menciptakanku, karena sungguh Dia akan memberi
petunjuk kepadaku. Dan Ibrahim menjadikan kalimat tauhid itu kalimat yang kekal
pada keturunannya agar mereka kembali kepada kalimat tauhid itu”.
(Az-Zukhruf: 26-28).
Sedangkan dimensi yang kedua
berkaitan dengan aturan bagaimana melakukan mu’amalah antar sesama makhluk
termasuk manusia (mu’amalah bi husnil khuluq) yaitu pertama: peran nabi
adalah sebagai seorang konseling, yakni mengajak manusia untuk berbuat baik dan
mencegah kemungkaran. Kedua: Nabi berperan sebagai seorang muadib,
misi ini terkait untuk menyempurnakan akhlak manusia. Nabi Muhammad SAW telah
bersabda: ”Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”.
(HR. Bukhari dan Abu Daud). Ketiga, sebagai seorang revolusioner, yaitu
berjuang membebaskan masyarakat dari segala bentuk penindasan dan
diskriminasi yang dilakukan oleh para penguasa. Misi suci ini merupakan
perjuangan para Nabi yang terpenting karena hampir semua Nabi berjuang
melakukan pembebasan masyarakat dari ketertindasan menuju pencerahan. Nabi
Ibrahim melakukan perjuangan revolusioner dalam membebaskan masyarakat dari
bentuk paganisme raja Namrud, Nabi Musa melakukan perjuangan Revolusi dalam
membebaskan bani Israil dari hegemoni tiran yang diktator Fir’aun, Nabi Isa
melakukan gerakan Revolusi spiritual atas hegemoni materialisme masyarakat
Romawi dan Nabi Muhammad melakukan gerakan revolusi moral atas kejahilan
masyarakat Quraisy.
Nabi juga memiliki misi untuk
mengajarkan realitas, tujuan sesungguhnya dan makna dari kehidupan ini.[15] Karena Tuhan di luar persepsi dan pemahaman
kita, nabi harus merupakan orang yang paling patuh, hati-hati dan disiplin saat
menjalankan tugasnya. Segala sesuatu di dalam alam ini berusaha untuk
menunjukkan nama-nama dan sifat-sifat Allah. Dengan cara yang sama, nabi
menunjukkan, membenarkan, dan beriman kepada hubungan misterius yang lembut
antara Tuhan dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Ketika kita berada di tempat
asing, kita membutuhkan pemandu. Analogi ini berlaku untuk peran nabi, Allah
mengutus para nabi untuk memberi informasi kepada kita tentang nama-nama dan
sifat-sifat Allah serta memandu kita menuju jalan yang benar.
4. Syarat – syarat Kenabian
Seperti yang telah diuraikan di
atas, bahwa tidak semua orang bisa menjadi nabi ataupun rasul, hanya
orang-orang tertentu yang telah dipilih oleh Allahlah yang bisa menjadi nabi
ataupun rasul. Untuk menjadi nabi ataupun rasul harus ada syarat-syarat
tertentu. Di antara syarat-syarat kenabian yaitu:
1) Laki-laki. Menurut para ulama
Ahlussunnah Waljama’ah, Nabi itu wajib laki-laki dan tak boleh perempuan. Hal
ini berdasarkan ayat Al-Quran:
”Dan tiada Kami utuskan sebelum
kamu, melainkan beberapa orang lelaki, Kami berikan wahyu kepada mereka”. (Al-Anbiya: 7). Di dalam tafsir
Ibnu Katsir juga dijelaskan bahwa semua Nabi yang terdahulu (sebagaimana yang
kita ketahui) adalah laki-laki. Allah telah menetapkan beberapa prinsip dan
hukum di alam semesta dan menciptakan manusia di dalamnya dengan sifat yang
baik serta mulia. Lelaki secara fisik lebih kuat dan lebih capable dibandingkan
perempuan. Ia berbeda dengan perempuan karena perempuan ada periode menstruasi,
pembatasan sebelum dan sesudah melahirkan. Perempuan tidak bisa terus menerus
melakukan tugas publik. Seorang nabi harus bisa memimpin manusia dalam segala
aspek kehidupan sosial dan religiusnya tanpa jeda. Itulah sebabnya kenabian
adalah tidak mungkin untuk perempuan.[16]
2) Mendapat ma’rifat dan pengetahuan
dari Tuhan, yakni berupa wahyu. Para nabi memandang sumber pengetahuan dan
makrifat mereka dari alam Ilahi dan berkeyakinan tidak dihasilkan oleh akal dan
mental manusia. Pengetahuan dan makrifat ini dalam bentuk dimana akal manusia
tidak dapat menjangkaunya, sebab memiliki dimensi langsung dari sumber Ilahi.
Seperti yang dijelaskan dalam Al-Quran:
“Dan Allah menurunkan kepada kamu
kitab dan hikmah dan mengajarkan padamu apa yang tidak kamu ketahui dan adalah
fadhlullah atasmu sangat besar” (An-Nisa: 113).
3) Terpelihara dari salah dan Allah
juga menjaga seorang Nabi dari perbuatan-perbuatan maksiat. Kalaupun nabi
melakukan dosa ataupun kesalahan, maka mereka hanya melakukan dosa-dosa yang
kecil saja. Allah tidak mungkin mengutus seorang nabi yang melakukan dosa besar
atau kekufuran.[17]
” Dan Kami tidak mengutus sebelum
kamu seorang rasulpun dan tidak (pula) seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai
sesuatu keinginan, syaitanpun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu,
Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan
ayat-ayat-Nya. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (Al-Hajj: 52).
4) Syaikh Isyraq dalam kitab Majmu’eh
Mushannifât mengatakan bahwa Kenabian memiliki syarat-syarat, salah satu di
antaranya mendapatkan tugas dari alam tinggi untuk merealisasikan risalah, dan
ini merupakan syarat khusus bagi para nabi.[18]
5) Menurut Al-Farabi, syarat seorang
nabi adalah bahwa seorang Nabi harus mempunyai daya imaginasi yang kuat, dimana
obyek indrawi di luar tidak dapat mempengaruhinya. Jadi manakala ia menerima
visi kebenaran atau wahyu dari tuhan melalui akal fa’al ia mampu berkomunikasi
dengan baik. Al-Farabi kembali menambahkan bahwa kemampuan seorang Nabi
berhubungan dengan malaikat Jibril tanpa diawali latihan, karena Allah telah
menganugerahinya dengan kekuatan suci (Qudsiyah). Sementara seorang filsuf
dapat berhubungan dengan Tuhan melalui akal Mustafad (perolehan) yang sudah
terlatih dan kuat daya tangkapnya, sehingga dapat menerima hal-hal yang
bersifat abstrak murni dari akal. Dengan demikian antara nabi dan filsuf tidak
sejajar tingkatannya, karena setiap nabi adalah filsuf sementara tidak semua
filsuf itu nabi. Dan menurut Al-Farabi, karena nabi dan filsuf sama-sama dapat
berhubungan dengan Akal, maka antara wahyu dan filsafat tidak terdapat
pertentangan.[19]
Sedangkan Ibnu Sina mengatakan bahwa
syarat kenabian adalah adanya keistimewaan yang tidak dinikmati oleh manusia
pada umumnya, termasuk kecerdasan yang didapat di luar pengalaman belajarnya
secara ”manusiawi” karena ilmu datang langsung dari Allah. Ibnu Sina juga
mengungkapkan bahwa ada tiga kelompok manusia di dunia ini. Pertama, orang yang
tidak punya kecakapan teoritis dan praktis. Kedua, orang yang punya kecakapan
teoritis dan praktis hanya pada dirinya sendiri dan tidak mampu menyempurnakan
orang lain. Ketiga, adalah orang yang punya kecakapan teoritis dan praktis
sekaligus, serta mampu mentransformasikannya kepada orang lain. Inilah
sesungguhnya yang disebut sebagai Nabi. Jadi, pada intinya Nabi harus merupakan
seseorang yang kekuatan kognitifnya mencapai akal aktif. Hakikat akal aktif itu
sesungguhnya adalah batasan antara dimensi ketuhanan dan kemanusiaan. Seorang
Nabi adalah orang yang mampu berkomunikasi bukan hanya dengan Tuhan saja,
tetapi juga dengan manusia.[20]
5. Faktor Pendukung dan Penghambat
Kenabian
Yang menjadi faktor pendukung
kenabian adalah wahyu. Secara etimologis, kata wahyu berasal dari kata ”wahy”
yang memiliki beberapa arti, di antaranya suara, tulisan, isyarat,
bisikan, dan paham. Sedangkan secara terminologis, menurut Syekh Abduh, wahyu
merupakan informasi dari Allah kepada Nabi-nabinya mengenai sebuah ajaran hukum
atau ajaran lainnya.[21] Kata wahyu banyak terdapat dalam
Al-Quran, salah satunya yaitu pada surat An-Najm:
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu
(Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah
wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”. (An-Najm: 3-4).
Selain wahyu, kenabian seorang nabi
juga didukung dengan adanya suatu mu’jizat yang diberikan atas izin Allah SWT.
Secara etimologis, mu’jizat diambil dari kata a’jaza yang berarti
melemahkan dan memperdaya. Sedangkan mu’jizat secara terminologis adalah hal
spektakuler (di luar adat dan kebiasaan) yang berasal dari para nabi dengan
izin dari Allah. Para nabi kerap kali menggunakan Mu’jizat untuk menguatkan
klaim mereka.
Wahyu-wahyu dan mu’jizat yang
diberikan oleh Allah kepada para Nabi merupakan alat atau sarana untuk
mendukung kebenaran para Nabi atas ajaran yang disampaikannya. Karena semua
pengakuan yang tidak disertai dengan suatu bukti, maka hal tersebut tidak akan
diperhatikan oleh manusia.[22] Mukjizat tersebut bukanlah sesuatu yang
diperoleh berdasarkan penelitian dan pengalaman, tapi ia merupakan pemberian
Allah kepada nabi-Nya dengan maksud tertentu. Mu’jizat juga dapat digunakan
untuk membedakan antara para Nabi dan orang-orang yang hanya mengaku sebagai
nabi. Salah satu nabi yang memiliki mu’jizat yaitu Nabi Musa, sebagaimana telah
diterangkan dalam Al- Quran:
”Maka Musa menjatuhkan tongkat-nya,
lalu seketika itu juga tongkat itu menjadi ular yang sebenarnya”. (Al-A’raf: 107).
Dalam perjalanan sejarah dakwah para
Nabi, masing-masing dari mereka memiliki dan mengalami hambatan-hambatan dari
kaumnya sendiri. Ketika seorang nabi menyampaikan ajaran agama yang dibawanya,
tidak jarang sebagian besar dari mereka menolak. Pebuatan menolak ini
dapat disebabkan berbagai faktor seperti kefanatikan terhadap tradisi nenek
moyang, kesombongan, status sosial sampai kepada perasaan dengki.
Sejarah membuktikan bahwa ketika
para nabi diutus ke dunia ini, ada pihak-pihak yang meragukan dan menentang
kenabian para nabi. Mereka tidak mempercayai kitab-kitab yang diturunkan kepada
para nabi dan juga mu’jizat yang diberikan kepada mereka. Pada masa Nabi
Ibrahim, Raja Namrud dan para pengikutnya menentang ajaran yang dibawa oleh
beliau. Kemudian kaum Aad yang menentang kenabian Nabi Hud, Fira’un yang selalu
berusaha menjatuhkan Nabi Musa dan masih banyak lagi orang-orang yang menentang
dan membantah kenabian para Nabi Allah.
6. Fenomena Nabi Palsu di Indonesia
Perdebatan mengenai teori kenabian
di tengah-tengah masyarakat kini kembali marak. Tak jarang perdebatan
wacana ini menarik umat muslim kepada tindak menghakimi atas dasar teologis
(pengkafiran) dan tak jarang yang berujung pada tindakan fisik seperti kasus
Ahamadiyah di Indonesia beberapa waktu yang lalu dan kontroversi Abdul Salam
alias Ahmad Mosaddeq, pemimpin Al-Qiyadah Al-Islamiyah yang dengan berani
mengubah Syahadat serta Lia Aminuddin alias Lia Eden dengan Kerajaan Surganya.
Sebenarnya fenomena tentang Nabi
palsu bukan baru terjadi pada saat ini saja, tetapi ketika pada masa Nabi
Muhammad dan para sahabat juga muncul orang-orang yang mengaku sebagai nabi,
seperti Aswad Al-Unsi dan Musailamah Al- Kadzdzab yang berasal dari Bani
Hanifah.
Dr. Amirsyah Tambunan, M.A.
(Pengurus MUI pusat) mengatakan bahwa persamaan mendasar dari fenomena Nabi
palsu zaman dahulu dan zaman sekarang adalah semua nabi palsu tersebut tidak
memiliki pengetahuan agama yang komprehensif.[23] Sedangkan perbedaannya adalah
keduanya berasal dari latar belakang sosial yang berbeda. Nabi palsu generasi
awal berasal dari strata sosial tinggi, yakni pemimpin kabilah dan Nabi palsu
modern berasal dari orang lari dari realitas.
Para nabi palsu yang muncul secara
mengejutkan di tengah-tengah masyarakat bak pahlawan kesiangan karena pada saat
ini, manusia tidak lagi membutuhkan figur seorang Nabi disebabkan manusia sudah
dapat menggunakan akal pikiran (rasio) mereka dalam segala aspek kehidupan.
Setiap zaman mengalami perkembangan, begitu juga dengan akal pikiran manusia.
Saat ini manusia sudah dapat untuk menggunakan daya kritis mereka dalam
memahami segala fenomena yang ada di dunia ini, tidak seperti zaman dahulu
dimana manusia masih percaya kepada hal-hal yang magis dan takhayul.
Para nabi dibutuhkan pada zaman
dahulu, karena pada saat itu manusia masih berada pada zaman primitif (zaman
jahiliyah) sehingga dituntut adanya seorang Nabi sebagai pembawa sebuah ajaran
yang baru, yang bisa menuntun dan menunjukkan manusia kepada jalan yang benar.
Dan seperti yang telah diuraikan di atas bahwa kenabian muncul sebagai sebuah
jembatan transisional dari zaman primitif ke zaman rasioner dan masa dimana
diturunkannya Nabi Muhammad merupakan masa terakhir dari masa transisi sehingga
dengan berakhirnya kenabian Nabi Muhammad, maka berakhir pulalah kenabian dalam
Islam. Dan setelah wafatnya Nabi Muhammad, maka tidak ada lagi sebutan bagi
seseorang sebagai Nabi ataupun Rasul. Terlebih lagi di dalam Al-Quran telah
dijelaskan:
”Muhammad itu sekali-kali
bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu., tetapi Dia adalah
Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha mengetahui segala
sesuatu”. (Al-Ahzab: 40).
C. Penutup
1. Kesimpulan
Banyak orang yang
menginterpretasikan makna kenabian secara berbeda-beda. Bahkan kenabian menjadi
sebuah kontroversi di dalam umat Islam sendiri. Ada yang pro dengan alasan
bahwa kenabian sangat dibutuhkan dalam kehidupan manusia sebagai penuntun atau
penunjuk kepada jalan yang benar sedangkan pihak yang kontra beralasan bahwa
tanpa kehadiran seorang Nabi pun, manusia dapat membedakan hal yang baik dan
buruk sesuai dengan kemampuan akal pikiran mereka. Nubuwah (kenabian) merupakan
jembatan dari masa transisional, yakni dari masa primitif ke masa rasional. Dan
puncak dari masa transisional tersebut adalah pada masa Nabi Muhammad sehingga
pada saat ini manusia tidak memerlukan lagi figur seorang Nabi karena manusia
sudah berada pada masa rasional dimana pemikiran manusia sudah berkembang
secara pesat. Dan jika pada zaman sekarang, ada orang yang mengaku Nabi, hal
tersebut sangat menggelikan, mereka yang mengaku nabi di zaman sekarang
bagaikan pahlawan kesiangan.
2. Saran
Dengan adanya penginterpretasian
yang berbeda dalam memahami nubuwah (kenabian), diharapkan agar ummat Islam
tidak menyikapi hal tersebut secara berlebihan. Karena perbedaan adalah
hal yang biasa, hal tersebut sangat lumrah terjadi di masyarakat dengan
kebebasan berfikir saat ini. Selain itu, dengan fenomena kenabian palsu yang
muncul di masyarakat, penulis mengharapkan agar ummat Islam dapat lebih
mempelajari Islam secara komprehensif, baik dari segi historis maupun segi
lainnya. Hal ini agar ummat Islam tidak mudah terpengaruh dan terhasut oleh
fenomena kenabian palsu. Selain itu, dengan adanya nabi palsu diharapkan agar
ummat Islam tidak langsung menjudge orang tersebut kafir, apalagi sampai
melibatkan kekerasan fisik dan merusak sarana yang ada. Yang harus kita lakukan
adalah menundukkan ego dan emosi kita dan mengajak orang yang tersesat (mengaku
Nabi) untuk berdialog dan mengajaknya kembali kepada ajaran Islam yang benar,
yang sesuai dengan pemahaman Al-Quran dan Hadits.
Naskah dikopy dari Makalah Mahasiswa ... semoga bermanfaat.
D. Daftar Pustaka
§ Rahardjo, M.
Dawam, Ensiklopedia Al-Quran, (Jakarta: Paramadina, 1997).
§ Ash-Shiddieqy,
Hasby, Al-Islam Jilid I, (Yogyakarta: Bulan Bintang, 1952).
§ El-Bararah,
Umdah, Meninjau Kembali Teori Kenabian, www.islamlib.com,
§ Gulen, M. Fetullah, Memadukan Akal dan Kalbu dalam Beriman,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002).
§ Admin, Teologi Profetik dan Ideologi Revolusioner, www.iain.org,
(21 Oktober 2009).
§ Mu’nim Al-Hafni, Abdul, Ensiklopedia: Golongan, Kelompok, Aliran,
Mazhab, Partai, dan Gerakan Islam, (Jakarta: Grafindo, 2002).
§ Amir, Ja’far, Terjemahan Jawahir Kalamiyah, (Pekalongan: Raja Murah,
1994).
§ Unknown, Nabi Palsu, www.Indonesia.
Islam. com
§ Handono, Irene, Islam Dihujat,
(Kudus: Bima Rodheta, 2003).
§ Nasution, Hasyimsah, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2002).
§ Madhkour, Ibrahim, Filsafat
Islam: Metode dan Penerapan, terj. Yudian Wahyudi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1993).
[1] Ibrahim Madhkour, Filsafat Islam:
Metode dan Penerapan, terj. Yudian Wahyudi, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1993), hal. 164.
[2] M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedia
Al-Quran, (Jakarta: Paramadina, 1997), hal. 302.
[3] Irene Handono, Islam Dihujat,
(Kudus: Bima Rodheta, 2003), hal. 38.
[4] Ibid, hal. 43.
[5] Irene Handono, Islam Dihujat,
(Kudus: Bima Rodheta, 2003), hal. 38.
[6] Ibid, hal. 43.
[7] Irene Handono, Islam Dihujat,
(Kudus: Bima Rodheta, 2003), hal. 38.
[8] Ibid, hal. 43.
[9] Hasbi Ash-Shiddieqy, Al-Islam
Jilid I, (Yogyakarta: Bulan Bintang, 1952), hal. 201.
[10] Umdah El-Bararah, Meninjau
Kembali Teori Kenabian, www.islamlib.com, diambil tanggal 12
Desember pukul 20.00.
[11] M. Fetullah Gulen, Memadukan Akal
dan Kalbu dalam Beriman, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hal.
97.
[12] Irene Handono, Islam Dihujat,
(Kudus: Bima Rodheta, 2003), hal. 38.
[13] Ibid, hal. 43.
[14] Ibid, hal. 105.
[15] Gulen,Op.cit, hal. 98.
[16] Ibid, hal. 106.
[17] Abdul Mu’nim Al-Hafni, Ensiklopedia:
Golongan, Kelompok, Aliran, Mazhab, Partai, dan Gerakan Islam,
(Jakarta: Grafindo, 2006), hal. 836.
[18] Syihabuddin Suhrawardi, Majmu’eh
Mushannifât, Jilid. 3, hal. 75.
[19] Hasyimsyah Nasution, Filsafat
Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), hal. 44.
[20] Umdah El-Bararah, Loc Cit.
[21] Rashid Ridha, Muhammadan Wahi,
Cairo, 1935, hal. 38.
[22] Ja’far Amir, Terjemahan Jawahir
Kalamiyah, (Pekalongan: Raja Murah, 1994), hal.. 35.
[23] Unknown, Nabi Palsu, www.Indonesia.
Islam. com